تفاكر
Bab 3 — Di Balik Senyuman
Setiap pagi, Ihsan menyapa Milyun dengan senyum ramah. Lalu mereka saling bertukar “selamat pagi”, kadang diselingi canda ringan seputar murid-murid yang suka terlambat atau cerita tentang pelatihan guru yang melelahkan. Semua tampak biasa saja.
Tapi sebenarnya, tidak ada yang biasa bagi Ihsan setiap kali berbicara dengan Milyun.
Setiap kata yang ia ucapkan sudah lebih dulu disaring dalam benak, agar tak terdengar terlalu peduli. Setiap tatapan ia tahan agar tak terlalu lama. Ia berusaha menjadi rekan kerja yang wajar. Tapi hatinya berkata lain.
Sementara Milyun, seperti biasa, tidak berpikir aneh-aneh, selalu menganggap Ihsan dan Bu Salma adalah pasangan serasi dan bahagia. Dia tidak pernah punya alasan untuk berpikir sebaliknya. Bu Salma begitu aktif bercerita di ruang guru—tentang suaminya, tentang rumah tangganya, tentang anak-anaknya yang lucu—dan Milyun mendengarkan dengan sopan, kadang ikut tertawa, kadang hanya tersenyum simpul. Begitulah, tidak ada yang aneh bagi Milyun.
Tapi ada sesuatu yang ganjil.
Milyun beberapa kali memergoki Ihsan yang terlihat tidak menghiraukan saat Salma bercerita. Bahkan seringkali, Ihsan tidak menatap istrinya, pura-pura sibuk dengan buku catatan atau layar laptop. Tapi sekali waktu, mata mereka bertemu—Milyun dan Ihsan—dan dalam satu detik singkat, ada percikan yang tidak bisa dijelaskan.
Lalu semuanya kembali seperti biasa.
Sampai pada satu hari, saat jam pulang sekolah, Ihsan menghampiri Milyun di lorong kelas. Langkahnya ragu, tapi niatnya sudah bulat.
"Bu Milyun," panggilnya pelan.
Milyun menoleh, sedikit terkejut. “Ya?”
Ihsan diam sejenak. Lalu menghela napas.
"Aku... cuma mau bilang, sampean luar biasa. Cara sampean ngajarin anak-anak, ketulusan sampean, aku... kagum."
Milyun tersenyum kikuk. “Ah, biasa aja, Pak. Kan sampean juga guru hebat.”
Ihsan tersenyum. Tapi itu bukan senyum biasa. Ada perasaan yang tersimpan di sana, dan Milyun mulai menyadari ada yang berbeda. Tapi ia tak ingin menerka terlalu jauh.
“Terima kasih,” katanya, lalu berpamitan pulang.
Sepeninggal Ihsan, Milyun berdiri sebentar di lorong yang mulai sepi. Ada sesuatu dalam tatapan Ihsan tadi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bukan hanya kekaguman... tapi juga luka.
Dan entah mengapa, itu membuat dada Milyun terasa sesak.