Showing posts with label Cinta oh cinta.... Show all posts
Showing posts with label Cinta oh cinta.... Show all posts

Monday, May 28, 2012

Memories in Malang Tempoe Doeloe


Yesterday, tepatnya tanggal 26 Mei 2012 hari sabtu (malam minggu) adalah hari yang sangat mengesankan buatku, tapi (mungkin) tidak buatnya, Dikka.

Aku ingin menceritakan mulai awal hingga akhir sebelum aku benar-benar ingin melupakannya sama sekali.

Kira-kira pukul 8.00 pagi Dikka sms aku yang intinya dia mau ke wilayahku untuk survey ma’had dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) buat adeknya. Dia minta aku nemenin dia dan dengan hati yang tulus aku bersedia, karena anda tau? Aku begitu merindukannya. <-- to the poin banget

Pulang sekolah aku bertemu dengannya di depan masjid hisbullah. Dia cakep, bawa motor apaaaaa ya... aku tak begitu peduli. Yang jelas aku tak bisa mengendarai motor besar macam itu. Hahaha....

Aku mengantarkan dia masuk ke halaman MIA 02 tempatku sekolah dulu. Dia melihat-lihat sekitar, sesekali memotret dengan menggunakan henfonnya. Dia melihat-lihat... dan aku melihatnya diam-diam! Dan yang kupikirkan “betapa kerasnya hatimu yang tak mau menatapku disini”. Setelah dia puas melihat-lihat sekolah itu, dia mengajakku melihat ma’had. What?? Aku pake celana, membawa temen cowok ke ma’had?? Bukankah itu TABU sekali?? Aku mengatakan padanya bahwa aku belum siap ke ma’had karena aku pake calana. Lalu aku hanya mengantarkannya melihat-lihat bagian luarnya saja. Setelah itu dia mengantarkanku pulang. Yahh...!! hanya itu yang ingin dia lakukan denganku! Cuma itu! Tidak ada jalan-jalan, tidak ada makan-makan. Emm... mungkin dia sedang puasa, atau.... dia memang tidak suka denganku.

Pukul 14.00 seperti biasaa, aku ke ma’had untuk menjalankan tugasku. Sambil ngajar, aku smsan dengan dia yang sedang galau karena berusaha menghubungi Aya (teman kami yang tinggal tak jauh dari rumahku juga) tapi tak kunjung ada jawaban. Hingga aku pun berusaha menghubungi Aya sama seperti yang sedang ia lakukan. Dan tetap, tak ada jawaban. Aku kasihan, jauh-jauh dari Sidoarjo dia merasa asing disini. Aku ingin menemaninya, tapi dia menolak, hingga dia tak lagi membalas pesanku setelah berpamitan untuk pulang saja. Aku sedih! Hanya inikah pertemuanku dengannya? Kenapa kondisinya sangat menyedihkan?? Tanpa teman, sendiri, dan akhirnya kembali pulang. Dan aku..... menangis! <-- cengeng

Bahkan aku belum sempat mengatakannya kepadamu, tiba-tiba kau sudah pergi! Aku hanya ingin bilang, maafin aq!” :’(

Hampir menjelang maghrib, Aya, temanku yang tadi tak bisa dihubungi, kini sms aku seperti ini, “MTD”. Aku langsung memarahinya karena dia tadi tidak mengangkat telponku atau pun telponnya. Karena aku kasihan, dan sekarang Dikka sudah pulang.
Dan anda tau? Temanku ini ternyata sedang bersama Dikka. Dia mengajakku ke MTD. Aku masih ingat ketika tadi siang sebelum Dikka pergi meninggalkanku, aku mengajaknya ke MTD, dan dia cuma bilang, “gak terkenal”.

Aku mengiyakan ajakan mereka dan segera mencari tebengan motor ke temenku yang lain untuk berangkat ke sana. Hingga ada sms masuk dari Aya “kamu dibonceng Dikka!”.
Kira-kira pukul 18.15 selesai sholat maghrib, mereka berdua sudah menjemputku di depan rumah. Kami melaju........

Boncengan dengan Dikka rasanya.... senang! Meski hanya menatap punggungnya, aku merasa bersyukur, karena dia mengabulkan permintaanku yang awalnya dijawab dengan sinis. Aku merasa sedang menjadi seorang putri yang duduk dengan pangeran tampanku. Dari kaca spion aku bisa melihat wajahnya... sesekali atau dua kali aku terus melihat ke arah kaca spion. Dia tidak menyadari ada seorang gadis yang sedang memperhatikannya lewat kaca spion! Hatiku selalu berkata, “ada aku disini, tidakkah kau mau melihatnya?? Atau kau akan terus membelakangiku seperti ini?”, tanpa dia sadari gadis yang sedang duduk dibelakangnya menitikkan air mata yang segera dia hapus kembali.
Sesampainya di MTD, dalam perjalanan menuju teman-teman (tempat kami ketemuan) dia seakan menjagaku. Dia mempersilahkan aku untuk jalan di depan. Dia memegang pundakku agar kami tidak terpisah di keramaian ini. Sesekali aku bercanda dengannya. Mata kami saling bertemu dan aku buru-buru membuangnya, malu! Tapi kami tetap bercanda. Dia sering menggodaku ini itu, aku hanya sering tersenyum melihat dan mendengar godaannya padaku :).

Di tempat ketemuan (tetap dalam keramaian suasana MTD), kami tak melihat seorangpun teman kami. Sambil menghubungi teman-teman yang lain, di tengah lagu-lagu bernuansa reggae yang dilantunkan penyanyi rasta dari atas panggung, tiba-tiba dia memegang kedua lenganku dan menghadapkanku ke arahnya, dia mengajakku berdansa! Aku terkejut! Lalu aku tertawa... hahaha... dan dia tersenyum melihatku.
Hingga akhirnya teman-teman kami yang lain bermunculan. Kami semua berjalan mengikuti arus MTD. Setelah malam hampir mencapai puncaknya, pukul 10.30 kami memutuskan untuk pulang.

Dia memboncengku lagi...

Kali ini dia mengendarai motornya dengan laju yang sangat cepat-100 km/jam-. Sering kali aku maju mundur karena rem yang dia tahan berkali-kali.
Rumahku hampir dekat, aku bertanya kepadanya apakah dia tidak dingin dengan jaket jeans yang dia pakai untuk pulang ke Sidoarjo? Karena aku memang berniat untuk meminjamkan jaketku ini padanya. Lalu dia berkata padaku, “tangan pean mana?”, aku masih bingung dengan kata-katanya. Lalu aku menyodorkan tanganku dan dia menggenggam menarik tanganku untuk mendekapnya. Sumpah ya pemirsah! Aku sangat kaget dengan semua tindakan yang dia lakukan kepadaku.

Sampai depan rumahku, aku memaksanya untuk menerima jaketku, tapi dia tetap tidak mau. Aku masuk rumah dan mengirim pesan kepadanya:

Dik, hati2 djln, pelan2 sja! Trmksh utk hri ini! Kl sudah smpe rumah beri tw aku

Pukul 00.59 dia sms, “Meiza, aku sdh nympek rumah. Sudah bobo’kah?”..... dan aku.... sudah terlelap.

Cinta itu..... tak pernah bisa dipaksakan! kita tak pernah bisa mendikte seseorang untuk mencintai kita. Kita tak bisa memaksa seseorang untuk mencintai kita. Kita juga tak bisa melarang seseorang untuk mencintai orang lain. Orang yang sedang jatuh cinta, dia pasti merasakan patah hati yang tertunda... entah esok, lusa, kita tidak tahu apakah sakitnya hati ini bisa menjadi sebuah kebahagian sebagai balasan ketulusan cinta yang kita berikan... yang terpenting! satu hal yang bisa membuat kita kuat, adalah... DOA! :)
Karena kita, punya Allah, yang selalu memberikan cinta-Nya untuk kita :)


-SEKIAN-

Monday, March 26, 2012

SMS I’m in Hurt

Sebelum lo ngelanjutin baca, mending ngebaca "SMS I'm in Admiration" dulu, biar nyambung bacanya (^_^). Nyarinya di label yang sama dengan ini yaaahh... bagi yang udah ngebaca "SMS I'm in Admiration", silahkan lanjut membaca....








December, 31st 2011
Dan akhirnya dia membalas pesan gue selama berbulan-bulan dia mengabaikan gue dengan kejamnya. Dia, Dikka.

Suatu sore, temen gue, si Jay... sms gue yg intinya ngajakin gue ke tempatnya Dikka. Gue gak ngebales karena mungkin dia nggak serius seperti sebelum2nya. Beberapa menit kemudian ada pesan lagi masuk ke inbox gue, dari Jay...

From Jay:
Mei, kapan k rmhnya Dikka,, anake udah bs dikonfirmasi. Barusan minta salamin... salam buat kamu.
lalu gue bales dengan sangat malas.
To Jay:
oh ya? Terserah deh!
From Jay:
hehehehe dia nanyain kmu tyus low, sekalian aja wes, ckckckckck
belum sempet ngebales, hp gue mati.

***              ***              ***

Malam, kira-kira pukul 19:14 gue sms si Jay
To Jay:
sbb, hpq td lowbat trus mati. Halaaahh bsa aj klu ngarang kmu ini. Btw, Sekalian apa maksudnya Jay?
From Jay:
         sekalian sesuatu gt,,, Cz sptnya diantara klian ada chemistri.. hehehehehe <--- Whoooot? Chemistri?? :D emang apaan itu? Haha...

dengan penasaran gue ngebales sms dia.
To Jay:
Hush! jgn ngarang deh! Jd, ada rencana kapan main ksana? Mumpung aku masih ada waktu nganggur 2 minggu ini, hehe... atau setelah tgl 14 January aja sklian, stelah aku pulang dari ibu kota. Okay?
Secara ya, gue emang lagi ada urusan ke Ibu kota. Gue daftar kuliah S2 ke Luar Negeri, dan harus ngurusin itu semua, mulai dari nerjemahin dokumen-dokumen resmi sampe yang gak resmi, legalisasi formulir plus berkas-berkas, dan ngumpulinnya pun harus ke KEDUBES BD. Oke, itu bukan cerita yang mau gue bahas kali ini. Fokus sama smsnya si Jay!

Suatu ketika gue teringat sama smsnya Jay yg bilang kalo Dikka salam ke gue. Gue nyoba sms ke Dikka yg seperti biasa, selalu dia abaikan tanpa ngebales gue, dan kali ini pun gue yakin banget gak bakal ada satu pun nama dia masuk di inbox gue.
Meiza (gue): Setidaknya aku menerima titipan salam dari temenku ini, alaykumsalam :) ohya, sekalian aku mau pamit k Jakarta (g pntg sih) klu ada kesalahan mhon dimaafkan”.
Dan... gue gak nyangka gitu, ada pesan masuk ke inbox gue dan itu dari dia, Dikka...
Dikka: knp k Jakarta?
Gue kaget! Gue ngelamun sebentar sebelum akhirnya gue ngebales dia.
Meiza: Hah?? Sumpeee ini Dikka? Ngebales smsku! Kamu sadar udah ngebales smsku? Emm... ada urusan yg hruz diselesaikan di deplu dan kedubes BD di Jakarta. Mohon doanya ya! <--- gue heboh pada awalnya, tapi gue gak mau ngungkit-ngungkit sikap dia ke gue.


Lo tau cerita ini guys? Kenapa dengan adanya pesan Dikka yang masuk ke inbox ini sangat mengagetkan gue?! Ok! Gue akan sedikit berflashback ke hari itu, hari dimana Dikka tiba-tiba sama sekali nggak menghubungi gue, hari-hari yang sangat ngeselin buat gue, hari dimana gue terserang tekanan bathin! Hari dimana gue ngerasa sangat nggak berharga, hari dimana dia nggak mau tau sms gue... setelah dia tau perasaan gue yang sesungguhnya.

Suatu ketika gue ngasih tau Dikka kalo gue itu suka banget nulis hal-hal yang mengesankan buat gue. Karena gue suka ama dia, kali ini gue nulis tentang dia, tentang pertemuan dengan dia, tentang percakapan gak penting dengan dia lewat sms, dan tentang perasaan kagum gue ke dia semua ada di tulisan gue itu. Gila kan gue? Nekad abiez!! Tapi gue gak peduli nantinya dia bakal komentar apa, karena gue gak minta apapun dari dia. Gue cuma suka nulis! Cuma nulis! N-U-L-I-S! 

Gue ngasih tau dia via sms bahwa tulisan gue akan gue posting di blog gue. And you know what? Balasan dia kayak gini, “aq gak sabar utk membaca tulisan itu, Za ;-)”.
Dan itulah terakhir kalinya Dikka sms gue. Entah... gue gak tau dimana letak kesalahan gue, entah apa yang salah dari tulisan gue itu, entah dia marah atau enggak dengan apa yang gue rasain, gue gak tau. Tiba-tiba dia ngilang gitu aja. Mengabaikan gue dengan sadisnya. Berpuluh-puluh sms gue kirim ke dia, tapi tak satu pun dapat balasan. Dari sinilah hati gue mulai merasa berontak, pikiran gue kacau, dalam otak gue cuma ada kata “kenapa?, mengapa? Ada apa? Kenapa gue diginiin??”, setelah dia tau perasaan gue lewat tulisan itu, dengan indahnya dia mengabaikan gue tanpa ada say “good bye” sedikitpun. 2 bulan lamanya dia mengabaikan gue. Dan itulah alasan kenapa gue sangat kaget ketika ada nama dia tiba-tiba masuk ke inbox gue.
Oke, kembali lagi ke sms dia yang tadi.
Dikka: berapa hari?
Meiza: mungkin sekitar 1 minggu lebih. Pertengahan January insya Allah sudah pulang Dikk. Ini nomornya Dikka kan?, Jay ngajak main ke SDA, tp sudah kubilang sepulang dari Jkt saja.
Dikka: kasih kabar y dsana.. aq tunggu klu mau kesini :)
Gue: insya Allah :)
Dikka: maafin aQ.

Dari sini, gue berfikir... ada apa dengan dia akhirnya? Apa hatinya sudah terbuka? Ada yg aneh! Tapi gue tetep ngebales pesan dia seakan-akan tidak pernah terjadi apa pun.
Meiza: (tdk minta maaf pun sudah kumaafkan) nggeh, sami2 :)
Keesokan harinya (lebih tepatnya hari Jumat) gue ngerasa penasaran banget, gue pengen nanya kenapa selama ini dia nggak menghubungi gue. Karena anda tau? Sakiiiit sekali! Perihnya terasa banget!
Meiza: klo Meiza boleh tau, kenapa Dikka minta maaf kemarin? Cm butuh klarifikasi aja :)
(dia gak ngebales, mungkin emang masih sholat jumat)
Gue: em, tidak usah dijawab wes ya :) jaga diri baik2 mohon doanya juga ya...
Gue cuma gak pengen ada suasana gak enak diantara kami. Tak lama dia balas.
Dikka: aq baru buka 2 sms Meiza ini, baru pulang sholat jumat aq. Maaf. Knp pertanyaan itu gak langsung kamu tanyakan kemarin? Knp baru sekarang kamu tanyakan? Apa kamu sering memikirkan aku? <--- tuing tuing tuing

Ternyata, kemarin bukan jawaban “nggeh sami2” yg dia inginkan dari gue, tapi pertanyaan “mengapa?”.
Meiza: kmrin lg gak pengen ngrusak suasana hati kamu aja. Em.. ya.. karena aku merasa knp diginiin aja. Maaf ya...
Dikka: sebenernya ada sesuatu yg pgn aq tanyain. Tp baru bisa aku tanyain klu qta udah ketemu. Meiza berangkatnya kpn ke Jakarta?
Meiza: tgl 4 January Dikk. Em... knp? kok nunggu ketemu?
Pertanyaan gue nggak dibales sama dia. Karena gue penasaran sama kata-katanya, gue langsung sms si Jay.
Meiza: Jay, mw nanya nih... sbnernya Dikka nanya apa aja soal aku? Qt kan prend yah, kok nanyanya lewat kmu sih? Nggak langsung nanya ke aku aj? Ada apaan nih?! <--- Alasan gue udah keren belum yah...?? :D
Jay: aseg aseg.. bsok aja qu tlpon.
Keesokan harinya gue nunggu telpon dari Jay yg gak juga nelpon. Akhirnya gue sms dia.
Meiza: heh! Katanya mau telpon!
Nggak lama handphone gue bunyi. Gue angkat dan gue ngobrol sama si Jay, cuma bentar siy, gak begitu jelas juga dia ngomong apaan! Eh, tiba-tiba mati. Pulsanya abiz kali, kalo emang pulsanya abis, sok-sok-an banget dia mo nelpon gue. (cerewet amet guee (^o^ ) haha...)
Meiza: kok mati?
Jay: to the point nya tar ku sms.
Selang beberapa menit dia sms gue lagi...
Jay: sms terkhir dr Dikka = ’jujur, aq tak pantas mendapatkan dia bung, diriku udah terlalu buruk bwt dia... aku tak ingin melukai dia... Meiza bener2 terlalu baek buat aku. (aku Cuma kangen sama dia, maaf kalo berlebihan)’
Setelah baca sms itu, gue diem. Berpikir! Jadi... itu yg dia rasakan ke gue? Lalu, kemana dia selama beberapa bulan ini? Kenapa dia mengabaikan gue? Kenapa dia menjauh dari gue? Kenapa gue diginiin? Sejenak pipi gue udah basah karena dialiri air mata gue sendiri (ya iyalah masa air mata kodok). Tenggorokan gue sakit, dada gue terasa sesek. Mengingat semua kejadian bersama ini, sebenarnya ada apa di antara kami?? Gue bingung. Kami hanyalah temen, dia pun udah punya cewek (yg dia bilang udah putus), tp ada apa dengan hati kami? Kenapa begitu sakit? Setelah ketertegunan yang begitu panjang dan lama, gue sms Dikka.
Meiza: Insya Allah setelah aku pulang dari Jkt, aQ akan main2 ke sana. Aku tunggu uneg2 yg pengen kamu tanyakan ke aku. Maaf.
Dikka: aQ tunggu... <--- gila! Singkat banget!
Tiba2, rasa bimbang itu muncul untuk kesekian kalinya. Tanda tanya besar dalam pikiran gue. Dan gue sadar... gue lagi DILEMA!

***              ***              ***
 
January, 1st 2012

Kira-kira pukul 00.03am, gue ngirim ucapan ke Dikka...
Meiza: Qt sudah masuk tahun 2012... terdengar suara kembang api dan petasan dimana-mana!! Syg mataQ tak dapat menahan rasa kantuk yg teramat sangat!! Tp cukup kuat u/ bisa menulis pesan pada orang yg jauh disana. Selamat tahun baru Masehi 2012.


...dan lo tau?? dia ngebales sms gue dengan kilat pemirsaaahh...!! ini tengah malem loohh!! 

 Dikka: ☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆ aku mengirimkan ribuan bintang ini untukmu. Walau telat... semoga tetep kamu simpen... HAPPY NEW YEARS 2012. mOga makin lebih baek.

To be continued...

Bersambung dulu ya... masih banyak tugas (✿◠‿◠)

Dont miss it!

Friday, December 16, 2011

AKU TERPAKSA MENIKAHIMU......


Semoga peristiwa ini membuat kita belajar untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki:
 mohon dibaca sampai selesai yah...
Insya Allah Menginspirasi


Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.

Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu.,  dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”


Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.